SETIAP Sabtu dan Minggu, di sepanjang jalan Thamrin dan jalan Sudirman selalu banyak terlihat tukang potret mengambil gambar para pegowes dan pelari yang melewati mereka.
Peralatan foto memoto mereka cukup canggih. Selalu menggunakan tele saat membidik obyek yang mereka jadikan sasaran.
Ternyata, mereka bukan hanya sekadar menyalurkan hobby melakukan pemotretan itu. Kegiatan itu menjadi sambilan mendapatkan penghasilan. Tergantung apakah yang dipotret bersedia memanfaatkannya. Dan itu sangat mereka harapkan.
Rasa penasaran saya selama ini mengenai buat apa mereka melakukan kegiatan pemotretan itu, terjawab sepagi tadi ketika saya berlari di sepanjang jalan besar di Bintaro, Tangerang Selatan.
Saat saya berlari, jauh di depan saya, seorang lelaki yang duduk di trotoar mengarahkan tustelnya kepada saya. Hingga saya melaluinya, tustelnya masih diarahkan kepada saya.
Saya menghentikan lari saya dan berbalik menghampiri pemotret itu dan bertanya; buat apa dia memotret saya.
Nah itu tadi. Dia mengharapkan yang dipotret mau memanfaatkan hasil jepretannya. Caranya, lewat WA dia akan mengirimkan hasil bidikannya kepada yang dipotret, tentu setelah mereka saling tukar nomor HP.
Orang yang dipotret disuruh memilih dari antara foto-foto yang dikirim lewat WA. Boleh cuma 1 foto atau semua foto yang dikirim. Foto-foto yang dikirim itu hanya jadi contoh saja, karena dipenuhi tulisan, sehingga tidak layak disimpan, apalagi ditayangkan lewat media sosial.
“Jadi berapalah biaya yang harus saya berikan untuk pengganti jerih payahmu,” tanya saya kepada pemotret itu.
Ternyata, harga perfotonya Rp.50.000. Cukup mahal sebenarnya, karena harga potret yang dicetak para tukang potret saja yang biasa mengambil kesempatan cari tambahan tidak sampai semahal itu.
Tapi, saya coba bandingkan ke harga sebotol bir, maka relalah saya memilih dan membayar 2 moment berlari hasil bidikan pemotret itu. Jerih payah dan usahanya harus saya hargai.
jebreeet.