MENCETAK BINTANG, MENUNGGU 10 TAHUN

0
32
Twitter
WhatsApp

Catatan Pemred Facebook, World Cup U-17 – Jilid 1

Penulis bersama Gus Mus

FIFA Ug-17 World Cup 2023, yang berlangsung sejak 10 November hingga 2 Desember 2023, adalah awal setiap pesepakbola young guns, yang terpilih masuk skuad tim negaranya, untuk menunjukan jati dirinya.

Pertanyaannya, apakah remaja U-17 dari 24 negara, 10 tahun ke depan, masih menggunakan seragam jersey negaranya, atau sudah tergusur, hanya sebatas dikenang, pernah memperkuat tim kesebelasan remaja asal negaranya di kala usia muda?

Kejuaraan Dunia Remaja U-19 FIFA 1979, yang berlangsung di Jepang, 25 Agustus hingga 7 September, menelorkan nama Diego Armando Maradona, sebagai pemain berbakat. Ramon Diaz, sahabat Maradona, menjadi pencetak gol terbanyak, 8 gol.

Tujuh tahun berikutnya, dari skuad remaja Argentina 19 tahun, hanya menyisakan Maradona, Juan Simon dan Gabriel Calderon yang ikut mempersembahkan gelar juara Piala Dunia 1986 di Meksiko. Sedangkan, Ramon Diaz yang digadang-gadang menjadi bomber masa depan, tenggelam ditelan jaman.

Puncaknya, Maradona yang dinobatkan, sebagai pemain terbaik 1979 kala itu, melejit, nggak mampu dibendung, sebagai dewa sepak bola abad 20.

Yang ingin dikatakan mBah Coco, bahwa Argentina remaja 1979, yang punya karakter, intelegensi dan keberuntungan, tetap bertahan, dalam skuad tim nasional Argentina senior, kurun waktu tujuh tahun berikutnya, hanya tinggal tiga (3) pemain.

Begitu ketatnya, setiap pemain lahir, tidak dalam pemantauan seleksi badan organisasi PSSI-nya Argentina. Namun, tujuh tahun berikutnya, nongol pemain-pemain berbakat, seperti Oscar Ruggeri, Roberto Sensini, Jose Basualdo, termasuk Jorge Burruchaga dan Abel Balbo, sebagai tandemnya Maradona, saat meraih gelar juara World Cup 1986, di Meksiko.

Sebelum, disamakan prestasinya oleh Lionel Messi. Maka, versi mBah Coco, hanya pemain legenda sepanjang jaman di kolong langit, Diego Maradona, yang mampu mempersembahkan gelar tertinggi, di saat masih remaja atau junior 1979, dan kemudian di saat senior kembali meraih gelar juara piala dunia senior 1986.

Di event yang sama Piala Dunia Remaja 2005, kembali pemain jenius asal Argentina, Lionel Messi meraih gelar sebagai pemain terbaik, sekaligus sebagai pencetak gol terbanyak, 6 gol, membawa negaranya juara dunia. Dan, World Cup 2022 di Qatar, Messi menyamakan rekor gurunya, Maradona, untuk meraih gelar kedua kalinya, sebagai pemain yang membawa negaranya juara yunior 2005 dan senior 2022.

Kali ini, di event remaja dunia di Indonesia ada anak remaja bernama Claudio Echeverri, juga asli anak Tim Tango Argentina, dan Agustin Roberto, yang telah mencetak 8 gol, saat tulisan ini diluncurkan di facebook, memang apes banget, ketika akhirnya gagal adu penalti menghadapi The Panzer Jerman.

Keduanya, sebagai duet kembar di River Plate, Argentina, dan, keduanya, pencetak gol hat trick di kancah Piala Dunia Remaja 2023 ini. Satu lagi, yang cetak hat trick, triker asal Mali, Mamadau Doumbia.

Dalam kancah format yang berbeda, mBah Coco, ingin memberi ilustrasi sikit-sikit, tentang skuad tim remaja Perancis U-17 tahun 2004, saat meraih gelar juara Piala UEFA U-17. Di jaman itu, Perancis telah menelorkan gelar World Cup pertama kalinya tahun 1998, dengan legenda-legenda seperti Zinedine Zidane, Youry Djorkaeff, Didier Deschamps, Thierry Henry, Emmanuel Petit dan David Trezequet.

Sehingga, para pemain remaja, mengejar mimpi ingin seperti senior-seniornya. Lahirnya, tiga nama remaja yang kala itu, mampu bersaing di kancah para bintang di liga-liga Eropa, seperti Karim Benzema, Samin Nasir, dan Hatem Ben Arfa, yang mempersembahkan gelar sebagai pencetak gol terbanyak.

Namun, hingga di awal millennium ke-3, hanya tinggal Karim Benzema yang bertahan tetap masuk skuad tim nasional senior Perancis. Itu pun, saat World Cup 2010, Benzema dicoret. Artinya, karakter, intelegesia serta mentalnya naik-turun, sehingga yang seharusnya bisa ikut berlaga di World Cup 2018, saat Perancis meraih World Cup keduanya kalinya. Ternyata, Benzema apes. Hanya bisa sebagai pemirsa di televisi, sambil melihat Kylian mBappe, mencium trophy World Cup 2018.

Kini, muncul remaja-remaja Perancis, yang memiliki reputasi akan bertalenta hebat, dalam diri Ismail Bouneb, Tidiam Gomes, Fode Sylla, Tidiane Diallo, dan titisan Lilian Thuram, dalam karakter Yvann Titi, pencetak gol penyeimbang, saat menghadapi Mali, di semi-final.

Dalam format nasional di Indonesia versi mBah Coco. Masih ingat di kembar Bagas Kahfa dan Bagus Kahfi, di event 2018 AFF U-16 Youth Championship? Pasukan Fakhri Husaini ini, meraih gelar juara di kancah Kawasan Asia Tenggara.

Dari 2018 hingga kini, atau lima tahun berikutnya, pemain yang masih bertahan, dan punya karakter, mental, intelegensia dan keberuntungan bisa tetap bertahan masuk skuad tim nasional Indonesia senior, hanya sisakan Ernando Ari Sutaryadi.

Sedangkan Bagas Kahfi, David Maulana dan tandemnya Bagus, Supriyadi, sepertinya sudah terengah-engah, untuk bisa bersaing dan tetap bertahan mampu masuk skuad tim senior.

Mengapa tinggal sedikit?

Pertama, saat pembentukan tim remaja, pelatih Fahkri Husaini dan timnya, punya keterbatasan waktu, untuk menyeleksi pemain. Kedua, perkembangan pemain di pelosok Tanah Air, terus berkembang, walaupun tanpa ada kompetisi berjenjang, dalam 30 tahun terakhir. Ketiga, seleksi hukum alam, selalu tercipta.

Artinya, hukum dan proses pembibitan, tanpa ada kompetisi atau kompetisi teratur, selalu setiap tahun akan melahirkan pemain berbakat.

Itu, rumus dan proses melahirkan pemain, di mana pun berada, entah itu di Argentina, Brasil, Jerman, Spanyol, Nigeria, Kamerun, Senegal, Pantai Gading, Mali, Jepang, Korea Selatan, Thailand atau pun Vietnam. Proses penemuan pemain berbakat, selalu akan lahir setiap musim kompetisi.

mBah Coco, pernah menulis artikel, tentang Evan Dimas Damono, yang dianggap pemain berbakat dekade 2013 -14 saat itu. Karakternya sebagai pemain mengatur serangan, sekaligus memiliki daya jelajah dan tendangan geledek yang topmarkotop. Ini, mengingatkan Ansyari Lubis dan Fahkri Husaini saat membela skuad Garuda Merah Putih, awal 90-an, punya kelas sebagai gelandang kelas satu di Indonesia.

Saat ini, seharusnya versi mBah Coco, Evan Dimas, sudah benar-benar matang dan sulit digoyahkan dalam skuad tim nasional Indonesia senior, dalam usia 28 tahun. Nyatanya, Evan Dimas tenggelam dalam dunia pindah-pindahan di klub Liga 1. Entah apa yang ada di benak Evan Dimas, sampai tulisan ini diturunkan di facebook?

Kalau nasib Evan Dimas saja seperti saat ini, melempen, payah dan frustasi. Bijimane, dengan nasib pemain-pemain yang baru saja berlaga di kancah FIFA U-17 World Cup 2023 lalu?

Siapa yang menjamin Arkhan Kaka, Ji Da-bim, Iqbal Gwijangge, serta dua pemain naturalisasi asal Brasil Welber Jardim dan Jerman, Amar Brkic, masih bertahan di skuad tim nasional senior 10 tahun ke depan, dalam usia emas. Yaitu, rata-rata 26 tahun?

Siapa yang menjamin, bahwa suasana bathin, karakter, intelegensi dan keberuntungan, masih bisa memayungi mereka-mereka, yang baru saja membela Indonesia remaja di kancah Piala Dunia U-17 tahun, masih bisa bersaing, dengan pendatang baru di kawasan sepak bola nasional tahun 2033?

Jika, karakter dan misi visi para pengurus PSSI, hanya sebatas pepesan kosong, dalam benak Erick Thohir dan kawan-kawan. Kok, rasa-rasanya versi mBah Coco, 10 tahun ke depan, sepak bola nasional, masih jalan ditempat. Sumpeh, lu! (bersambung).

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here